Monday, April 17, 2017

GELANG BIRU #6


Matahari mengintip dari garis horizon. Pagi ini sabrina bangun lebih cepat dari biasanya. Karena gelang biru itu, meski tidak ada hal yang mistis pada akhirnya, namun ia sudah terlanjur tersugesti suasana mistis. Tidur tak nyenyak hingga membuat kantung dimatanya. ia membuka semua jendela rumahnya dan membiarkan sinar matahari masuk seterang-terangnya. Kali ini ia benar benar rindu pada matahari di hari libur.
Ia membuat sarapan pagi dan membersihkan rumahnya, merapikan barang-barang vemi yang bertebaran dimana-mana setelah semalaman vemi membongkar tas untuk mencari cream malam dari klinik dokter kecantikan ternama di jakarta. Ia melihat kotak lusuh itu lagi, gelang biru itu masih didalamnya. Ia membukanya untuk kesekian  kalinya, kali ini ia lebih berani membukanya karna sudah pagi. Sebenarnya sudah sejak semalam ia melihat sebuah kertas kecil yang terlipat sebagai alas dari gelang biru itu di dalam kotak, namun karna takut ia tidak mengambilnya. Sekarang, karena sudah pagi ia memberanikan diri untuk mengambil kertas itu dan membuka lipatannya. Di sana tertulis:
GUNAKAN DALAM KEADAAN TERDESAK
Pikiran sabrina melayang, bertanya-tanya apakah saat ini sudah terdesak? “ini sejenis gelang power ranger? Atau alat berubahnya silor moon?” pikiran sabrina ngelantur kemana-mana. “masa sih ada yang begitu dijaman sekarang?” ia melihat kembali gelang biru itu dengan seksama, ketika terpapar matahari gelang itu memancarkan sinarnya. Menyilaukan katanya dan meyakinkannya bahwa gelang ini gelang sakti. Buru-buru ia menyimpan kembali gelang itu di tempatnya.
Ia berlari membangunkan vemi dari tidurnya yang pulas. Menggoyang-goyang tubuhnya sampai vemi bangun. “apaan sih sab.. masih pagi” ujar vemi kesal.
“gelangnya... gelangnya...” ucap sabrina terburu-buru.
“kenapa gelangnya?” tanya vemi, matanya masih terpejam dan berbaring di atas kasur.
“gelangnya ngeluarin sinar!!” ucap sabrina bersemangat.
“lu ngeliatnya di depan jendela yak?” tebak vemi.
“iya” sabrina mengakui, namun ia bingung.
“udah ada matahari kan sekarang?” tebak vemi lagi.
“iya” ucap sabrina lagi.
“dasar oon, itu cahaya bentuk pembiasan dari cahaya matahari ke gelang biru lu. Hadooooohhh, makanya kalo pelajaran fisika jangan tidur. Bisa musyrik kan lo. Syahadat lagi sono” vemi melanjutkan tidurnya.
“musyrik dari mana. Bangun lo, noh subuh dah lewat. Sholat!!” sabrina menepuk paha vemi keras.
“AAAAAA......” vemi melotot.

“tuh dah ada nasi goreng” vemi langsung bangun mendengar kata nasi goreng. “makanan aja lu bangun” gerutu sabrina.

Tuesday, April 4, 2017

GELANG BIRU #5


Tinggal di rumah sendrian tidak membuat sabrina takut, ia sudah terbiasa dengan situasi seperti ini. Ia bahkan merasa nyaman dalam keadaan seperti ini. Setelah menyelesaikan sholat magribnya ia memeriksa sampai ke sudut rumah, apakah masih ada sesuatu yang letaknya tidak sesuai? Ia melihat di dalam lemari ibu nya ada sebuah kotak tua ber ukuran kecil, tidak terurus dan sedikit lapuk. Ia sangat penasaran dan mengambilnya. Ia tidak langsung membukanya, ia menyimoannya di dalam laci meja belajarnya.
Ia menyalakan televisi dengan suara yang sedikit keras, tujuannya adalah agar dapat terdengar sampai kesudut rumah, sehingga kemanapun ia berada di rumah itu, ia masih dapat mendengarkan suara dari televisi dan tidak merasa sendirian. Setelah ia meletakkan kotak itu kedalam laci, ia mengeluarkan buku PR nya dan mengerjakannya sambil menonton sembarang chanel televisi. Ia bahkan tidak melihat acaranya, hanya perlu suara orang-orang yang ada dalam kotak elektronik itu.
Sebuah pesan masuk di ponsel nya “sendirian? – vemi”
“iya” balasnya
“ok. Gw meluncur” balas vemi tak kurang dari semenit. Ia kembali meneruskan mengerjakan PR nya, di sebelah bukunya ada sebungkus kacang atom dan beberapa bungkus keripik.
Sekitar 2 jam berlalu, ia sudah menyelesaikan Prnya, sudah merapikan semua bukunya. Bersiap ke tempat tidur namun ia sedikit penasaran dengan kotak lapuk yang baru saja di temukannya. Ia mengeluarkannya dari laci dan memandanginya, memutar mutarnya, dan mengetuk setiap permukaanya. Semakin dilihat semakin penasaran namun semakin menakutkan. Akhirnya secepat kilat kotak itu ia masukkan lagi kedalam lacinya.
“ngapain gw keluarin tu kotak, kalo ada yang alus-alusnya gimana? Mana gw lagi sendirian? Si vemi jadi mau dateng apa engak sih nih? Kok belom nongol-nongol” ia bertanya sendiri, histeris sendiri akhirnya ia buru-buru ke kamar mandi untuk berwudhu dan menjalankan sholat isya untuk menenangkan pikirannya yang mendadak mendapatkan atmosfir horor. Setelah melaksanakan sholat isya ia tidak langsung membuka mukenanya, ia berlama-lama berdoa. Atmosfirnya makin lama makin dingin dan mencekam saja baginya.
“Ya Allah, ampuni hambamu yang sudah penasaran dengan hal-hal yang tidak seharusnya penasaran pada malam hari. Ya Allah hamba-Mu ini tidak seberani artis-artis film horor yang sengaja berusaha terkenal di dua dunia, dunia manusia dan dunia alus-alus” lampu dibiarkan meyala, bahkan ia sengaja berdiri untuk menghidupkan semua lampu yang ada di rumahnya. “Ya Allah, Vemi kapan dateng nya.... ....” rengeknya di atas sajadah.
“Assalamualaikuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuummmmm!!!!!!” seru vemi sambil menggedor keras pintu rumahnya.
Itu seperti pertolongan ilahi, wajahnya mendadak cerah. Ia berlari kencang dari kamarnya dan membuka kan pintu, tanpa basa basi ia langsung memeluk vemi “vemiiiii.......!!!” ia berteriak histeris.
“lepasin lepasin lepasi. Gw ga bisa napas” protes vemi.
Sabrina melepaskan pelukannya dan kembali ketakutan sendiri. “sebentar,” ia melihat vemi dari ujung kaki sampai ujung kepala “alhamdulillah masih napak”
“lu pikir gw hantu?” tanya vemi tidak percaya. Tanpa di persilahkan, vemi masuk kedalam rumah sabrina menuju kulkas yang ada di dapur, ia mengeluarkan sebotol air dingin dari dalam kulkas dan langsung meminumnya di botol. “nih bukti gw manusia. Sembarangan aja kalo ngomong. Tumben amat, biasanya gak takut sendirian. Dapet penampakan lu di rumah ini? Apa ada hantu yang lebih serem dari muka lu?” ledek vemi.
Ledekan itu membuat sabrina yakin yang ada di rumahnya itu adalah temannya, masih manusia. “gw nemu kotak kecil lapuk gitu, tapi makin di liat makin serem. Bego nya gw malah gw pindahin tu kotak ke laci di kamar gw” jelas sabrina tergesa-gesa sambil melepaskan mukenanya.
“wahh jangan-jangan....” vemi menakutinya dengan ekspresi menakutkan.
“vemi... pulang lu sono, kalo Cuma mau nakut-nakutin pulang aja” sabrina kesar.
“iya enggak, enggak. Mana kotaknya.” Sabrina menarik vemi ke dalam kamar dan mengeluarkan kotak itu. “kotak kecil gini doang yang lutakutin?” tanya vemi tak percaya. “sekecil gini?”
“udah lapuk vem, lembab lagi, dingin pula. Pokoknya serem deh” jelas sabrina
“lebay” mendadak vemi membuka kotak itu tanpa aba-aba. Mata mereka berdua melotot melihat sebuah gelang biru yang bersinar dari dalam kotak.
“wuaaahhhhhhh” ucap mereka bersamaan.
“mana seremnya, yang ada bisa kaya. Batu permata birunya kayaknya bisa di jual mahal” vemi kagum.

“ga ada seremnya, ini bagus banget. Kok nyokap ga pernah pake gelang ini ya. Bagus banget padahal” sabrina tanpa sadar memegang gelang itu dan memutar-mutarnya melihat ke setiap celah dengan gelang itu. Ia makin tidak percaya ada barang seperti gelang biru ini di tangannya.

Monday, April 3, 2017

GELANG BIRU #4


Dalam banyak kisah, kisah cinta selalu menarik. Apa lagi kisah cinta si polos yang tanpa intrik. Namun pada kenyataanya yang cinta yang polos itu hanya milik para ibu. Tak ada yang menandingi polosnya cinta seorang ibu pada anaknya. Kisah yang selalu melekat di hati seorang anak, terasa hangat di dada ketika mengenangnya. Ini yang sedang dilakukan oleh sabrina. Mengenangnya.
Sabrina pulang dari sekolah “Assalamualaikum” ia mengucap salam pelan, ia sadar tak akan ada jawaban. Memberi salam hanya untuk malaikat penjaga rumah. Setidaknya itu yang di percayai oleh sabrina. Ia mengganti bajunya dan menghidupkan radio. Suara penyiar radio seperti suara kawan karib yang sudah menemaninya empat tahun belakangan ini.
“oke listener, di siang yang panas ini paling asik kalau minum yang dingin dingin” sabrina membuka kulkas yang ada di dapurnya. “segelas air es bisa menghilangkan dahaga yang menyiksa, kalo ada warung es campur, segera pesan es campurnya. Karna panas kayak begini bener-bener bikin perasaan campur aduk” sabrina melenguh karna di kulkasnya hanya ada air dingin. “sambil menikmati yang dingin-dingin, gw puterin lagu yang up bit dari negeri ginseng. Heaven – BTS”
“oppa.. saranghae” ucap sabrina pada radionya.
Ada catatan kecil tertempel di dekat kalender yang tergantung pada dinding ruang tamu. “mama ga pulang malam ini, ada tugas luar kota selama 3 hari 2 malam, kamu telpon temen kamu dulu buat nginep di rumah”
“bertubi-tubi, lengkap udah. Gw beneran sebatang kara, harusnya gw di urus negara” gerutunya sambil menghabiskan air dingin di gelasnya. Ia mencuci pakaian kotor yang sudah menumpuk di dalam mesin cuci, menyapu rumah, mengelap kaca,menyapu rumah, mengepel, mencuci piring, menjemur pakaian, menyetrika dan semua pekerjaan rumah lainnya. Semua pekerjaan itu membuatnya tidak sadar sudah menghabiskan waktu yang sangat banyak. Terakhir ia membuang sampah ke tempat sampah yang ada di luar rumah.
Penampilannya yang sudah berantakan dari awal kini makin berantakan saja, ibu-ibu berdaster saja masih lebih rapi darinya. CEKREKKK!! Sebuah kamera handphone mengambil gambar wajahnya yang super berantakan. “wah... gw sebar di facebook muka lu yang begini bisa terkenal lu” ledek kiki.
“nih, foto lagi. Mana tau abis lu foto gw dapet peran orang gila di hollywood” balasnya dengan menampilkan beberapa pose yang tidak jelas.
“sendirian aja di rumah?” tanya kiki sambil celingak celinguk melihat ke dalam rumah.
“gak bosen nanyain itu setiap ketemu gw, kan lu dah tau jawabannya” jawab sabrina.
“iya sih, kali aja kali ini beda.”
“lu di suruh nganterin makanan ke tempat tente lu lagi?” tanya sabrina melihat rantang yang ditenteng kiki. Kiki mengangguk. “lu gak bawa buat gw?” kiki menggeleng. “ngapain ngajak ngomong gw kalo gak bawa makanan buat gw.”
Kiki tersenyum lebar, “TADA!!!!” kiki memberikan sebuah tempat makan “gw tau lu selalu jadi manusia terlantar, sayangnya negara enggak ngurusin lu. Itu gw bawain ikan pepes sama tempe orek, tapi gak ada nasinya. Lu usaha sendiri nasinya” sabrina langsung menyambar kotak nasi itu dan tersenyum lebar.
“lu itu pasti utusan dari negara yang ngurusin manusia terlantar kayak gw” ia tak berhenti tersenyum. “udah sono ke rumah tante lu cepet, ntar dia nyariin lu kalo lu ga nongol nongol”
“hmmm.. abis manis sepah di buang, udah dapet makanan gw di usir” kiki kesal dan meninggalkan sabrina di depan rumah. Setelah berjalan agak jauh ia tersenyum puas.
“MAKASIH!!!!” teriak sabrina. Kiki melambaikan tanganya.

Sabrina berlari ke dalam rumah, memeriksa magicom nya dan menemukan nasinya sudah matang. Ia memakan dengan lahap makanan yang dibawakan kiki. 

Sunday, April 2, 2017

GELANG BIRU #3



“WAHH.... selebritis” ledek kiki pada arga yang sedang mengganti baju olah raganya. Teman lainnya yang sedang ganti baju juga ikut tertawa. “sabrina? Itu bukannya udah lama ya dia suka sama lu, tapi lu kayak patung liberty buat dy. Cuma bisa di liat doang. Ga kebayang bahagianya dia pas dapet tanda tangan dari lu” tambah kiki, makin membuat teman sekelasnya tak sanggup menahan untuk mengatakan “CIEEEEE!!!” beramai ramai.
Wajah arga memerah, tak mampu menahan senyumnya. Ia merasa seperti siswa yang paling tampan di sekolah. “patung liberty apanya, cewek dong gw”
Kiki tertawa “oke maaf, bukan liberty tp patung abraham lincoln” kiki dan lainnya tertawa lepas.
“jenggotan, kurus pula” mendengar jawaban arga semua temannya tertawa.
Selesai acara mengganti baju, arga beserta lainnya kembali ke kelas. Cerita tanda tangan arga masih jadi headline dalam pergosipan sekolah. Badik perempuan dan laki-laki kalau masalah isu yang beredar semua sama, yang membedakan hanya cara bergosipnya. Tapi, berita ini menjadi masalah nasional di SMU BAKTI PERTWI. Karena hal ini arga jadi malas keluar kelas. Ia merasa sedikit kurang nyaman karena semua orang memperhatikannya dan kini semua orang mengenalnya baik itu adik-adik kelasnya atau kakak kelasnya. Dan, pastinya sabrina juga sama terkenalnya dan bahkan lebih terkenal lagi dari arga.
“jadi, gimana sekarang ga?’ tanya firman teman sekelas arga.
“gimana apanya?’ arga balas bertanya dengan ekspresi malas-malasan.
“sabrina, itu udah jelas. Gak mau deketin?” firman melirik tajam “agak berantakan sih, tapi lumayan lah ga jelek-jelek amat kalo udah dibedakin”
“sabrina itu di SD paling cantik, semenjak ayahnya meninggal aja dy jadi aut aut-an” bela kiki menanggapi firman. Arga dan firman melirik kiki “tapi jangan sama sabrina deh, bukan karena lu gak pantes sama dia, Cuma entar gw kasian sama sabrina aja bisa di bully sama beberapa cewek yang lain.”
“lu kenal banget sabrina” tanya arga menyelidiki.
“temen sd, dulu gw sempet tetanggaan sebelum keluarga gw pindah rumah” jelas kiki santai.
“pantesan. Kata lu dy pas sd paling cantik, gak sempet naksir, waktu itu?” tanya firman.
“ya naksir lah. Gw anak SD yang normal. Tapi gak naskir yang kayak anak abegeh sekarang, demen aja gw ngeliatnya, manis, nyenengin, baik lagi” jelas kiki sambil tersenyum mengenang masa-masa SD nya.
“kapan ayahnya meninggal?” tanya firman lagi.
“katanya sih pas SMP, gak tau kelas berapanya, soalnya gw gak satu smp sama dia”
“dia pasti sedih banget sampe berubah banget dari bayangan cerita lu” komentar arga.
“namanya juga orang tua yang meninggal, pasti sedih. Gw denger ibu nya jadi sibuk kerja, dia jadi ngurus semuanya sendiri. Ibunya jarang banget keliatan. Bangun pagi ibunya gak ada, pulangnya pas udah tidur” kiki bersemangat menjelaskan.
“andai sabrina tau lu seperhatian ini, pasti dia gak akan liat arga dan yang ngasih tanda tangan bukan lu ga, tapi si kiki” firman kagum pada informasi kiki “tapi ngomong-ngomong, lu tau banyak sampe segitunya, lu jadi penguntit ya. Ngintilin dia kemana-mana? Penggemar rahasia? Wahhhhhh” Kiki tersenyum mendengar ucapan firman.
“kayaknya masih jadi penggemar rahasia sampe sekarang. Kayaknya bukan karena bakal di bully cewek cewek yang lainnya tapi takut hati lu ancur” arga dan firman tertawa sedangkan kiki kesal mendengarnya. “oke-oke, lagian dia bukan selera gw, gw gak akan juga ngebuat lu patah hati sob.” Ucap arga lantang, kiki menahan senyumnya.

“nah nah nah... liat mukanya. Bahagia banget.” Firman meledek kiki. “gw panggilin sabrina bagus juga nih” kiki melotot dan menyilangkan tangannya dengan tegas. Wajahnya memerah. Melihat reaksi ini arga dan firman tertawa terbahak-bahak

Wednesday, March 29, 2017

GELANG BIRU #2


Masa SMU adalah masa puber. Puber yang terlambat. Saat ini puber lebih cepat datang. Di jaman ini puber datang pada masa sekolah dasar, jika sabrina baru merasakan percikan percikan asmara pada kelas XI SMU itu sama saja dengan telat puber. Gadis telat puber ini sedang asik memandangi anak laki-laki yang tubuhnya sedang berkembang menjadi kekar-kekarnya. Jarang sekali ia berkedip. Satu gerakan pun tak ada yang luput dari penglihatannya. Guru bahasa indonesia yang sedang mengajar di depan kelas pun tak semenarik arga yang sedang bermain basket di lapagan sekolah.
Mata yang memandang itu seperti tak pernah ada keringnya. Posisi duduk yang tepat di samping jendela memudahkan untuknya memanda cowok yang ototnya sudah mulai terbentuk. Jangan tanyakan perasaan guru bahasa indonesia yang sedang mengajarnya saat itu, sudah pasti kesal. Ingin rasanya guru itu melempar penghapus papan tulis, sayangnya hal itu tidak mungkin. Melempar penghapus pada siswa di masukkan kedalam tindak kriminal. Guru itu berjalan keluar kelas dan memanggil arga. “Arga!!!!!!!!!!”
Arga langsung menghampiri guru bahasa indonesia yang sedang mengajar di kelas sabrina. “ya pak”
“bisa ikut bapak sebentar” tanpa curiga arga mengikuti guru itu menuju ke meja sabrina. Mata sabrina? Sudah jelas sedang mengikuti arga yang sedang mendekat ke arahnya. Antara sesak nafas dan kurang oksigen sulit ia bedakan. Pak guru memberikan penanya pada arga “tanda tangan disini” ke buku tulis sabrina “fans kamu dari tadi ngeliatin kamu terus. Kali aja abis dapet tanda tangan matanya gak gelindingan ke lapangan lagi” arga terkejut dan apa lagi sabrina. Wajah sabrina merah bukan main. Satu kelas menyorakinya dan tertawa berjamaah. Dan, arga tak kuasa menahan senyumannya.
Arga menandatangani buku sabrina yang sedang terbuka lebar “ini di suruh pak guru” kemudian arga memohon pamit pada pak guru. Di tengah riuhnya kelas, sabrina menyembunyikan wajahnya ke dalam dua telapak tangannya.
“sekali lagi kamu tidak memperhatikan pelajaran, silahkan kamu keluar kelas” ucap pak guru tegas.
Pak guru kembali mengajar di depan kelas, sesekali sabrina melirik tanda tangan arga yang di bubuhkan pada bukunya. “makasih pak” ucapnya sambil tersenyum kegirangan. Vemi teman sebangkunya melongo melihat kelakuan temannya yang sedang kasmaran.
Pelajaran bahasa indonesia pun selesai, pak guru keluar kelas dan seisi kelas riuh kembali membahas tentan arga dan sabrina. Sudah semakin jelas dan tak dapat disembunyikan lagi perasaan suka sabrina pada arga. Sabrina terlihat senang meskipun sekelas sedang asik bergosip tentangnya dan meledeknya.
Devina meliriknya dengan tajam. Sekarang sabrina menjadi saingannya. Tak senang dengan kehebohan kelas, devina menghampirinya dan merampas buku tulis yang sudah di tanda tangani arga. “kecentilan. Sekolah yang bener, ga usah kegatelan merhatiin cowok” ucap devina ketus. Sabrina dan vemi berusaha merebut kembali buku itu sayangnya tak bisa karena devina juga di bantu oleh ini yang tubuhnya lebih kekar. Secepat kilat devina mencari halaman buku yang di tanda tangani arga kemudian merobeknya. sabrina melongo. air matanya menggenang, namun ia menahan air matanya. Tak ada satu patah katapun keluar dari mulutnya. Vemi pun sama, teman sebangkunya ini terlalu ngeri melihat postur tubuh ini yang kekar.
Devina puas dengan apa yang dilakukannya. Vemi sibuk menyusap usap bahu sabrina. Ina melipat tangannya dan tersenyum lebar. “sekolah yang rajin ya nak, di larang kegenitan waktu belajar” cibir devina sambil berlalu di ekori ina.

Kebahagiaan sabrina yang hanya sesaat itu tiba-tiba hilang. Keberuntungan memang tidak datang hari ini. 

Tuesday, March 28, 2017

GELANG BIRU #1


selamat datang pagi, apa kah begini caramu menyapaku pagi ini? Dengan hujan?” desah sabrina yang pagi ini harus berangkat dengan menggunakan payung sambil berjalan kaki. Menyusuri gang yang jaraknya beberapa ratus meter dari rumahnya. Karena berjalan kaki ke sekolah ia harus berangkat lebih pagi dari teman-teman sekolahnya yang tinggal dekat dengan rumahnya. “senengnya jalan begini kalau aja hujannya gak sederas ini, rintik-rintik mungkin? Suasananya ga akan segalau ini. Harusnya pake sendal jepit ke sekolah. Sekarang kaos kaki jadi basah” gerutunya dalam hati. Angin yang sedikit kencang membuatnya sedikit berusaha mempertahankan posisi payungnya.
Berjalan di tepi gang tidak membuatnya benar-benar aman dari air sekalipun sudah menggunakan payung yang cukup menutupi bakian atas tubuhnya sebagai penghalang air yang jatuh dari langit. Nasib baik tidak datang pagi ini, sabrina terkena siraman genangan air dari mobil hitam. Sepertinya tujuan mobil itu juga sama dengan sabrina. Ke sekolah. “hari gini masih jalan kaki!!” ledek devina dari dalam mobil. Sabrina hanya menatapnya kesal, tak berani membalas. Sekalipun membalas tidak ada gunanya. Sepatu dan kaoskakinya sudah basah. Devina kembali melaju.
“selalu aja begitu, hari ini gw bikin dia bahagia dengan kecepretan air begini” gerutunya sambil berjalan lebih cepat. Sepertinya bel akan berbunyi dalam belasan menit lagi. Sabrina terburu-buru.
Tak beberapa lama berjalan, akhirnya sabrina sampai dikelas. Meletakkan tasnya di atas meja dan segera duduk untuk melepas sepatu dan kaus kakinya yang basah. Ia berjalan tanpa alas kaki ke luar kelas dan memeras kauskakinya. Siswa-siswa yang lain melirik dengan geli dan megatainya “rumah banjir sab?” ucap teamnnya menahan geli melihatnya tak beralas kaki. Ia menjawabnya dengan angguka ringan.
“dan, pagi ini gw juga membuat bahagia banyak orang dengan nyeker begini. Hidup gw jadi hiburan buat orang lain. Bener-bener nyari pahala yang mudah” gumam sabrina sambil kembali memeras kaus kakinya yang basah sekuat-kuatnya.
Bel berbunyi, sabrina masih saja nyeker di kelas. Sepatunya di lepas dan kaus kakinya digantung disambungan kaki meja. Guru yang mengajar sudah biasa melihat sabrina seperti itu dan membiarkannya saja. “besok kalau hujan pake sendal jepit dulu, sampai sekolah baru ganti pakai sepatu. Kalau begini siapa yang mau ngasih pinjem sepatu” ucap pak harun melewati meja sabrina. Ia hanya meng-iya-kan ucapan gurunya sambil memperhatikan kembali contoh soal yang tertera di papan tulis. Devina yang melihat dari tempat duduknya hanya tertawa geli dan mendapatkan ide mengerjainya.
Pelajaran berlalu begitu tenang, tak  ada yang gaduh dan tak ada yang melakukan hal-hal aneh selama pelajaran berlangsung. Hujan deras yang tak kunjung berhenti membuat siswa-siswa malas berulah dan lebih menahan dirinya karena cuaca yang dingin membuat malas bergerak. Bel istirahat berbunyi. Devina buru-buru berlari keluar kelas sedang yang lainnya masih malas-malasan untuk keluar dari kelas. Sabrina mengipas-ngipasi kaus kakinya yang masih di gantung.
“sab-sab!!” teriak devina dari pintu kelas. “di panggil pak harun, gak tau ngapain. Buruan katanya harus cepet. Penting!!!” sabrina yang mendengarnya langsung berdiri dan segera menuju ruang guru. Dengan senyum puas devina melihat sabrina yang berjalan setengah berlari menuju ruang guru. Bodohnya sabrina tidak menyadari ke jahilan devina yang melihatnya terburu-buru tanpa alas kaki.
“jahat lu dav” ucap ina teman sebangku davina, ina pun ikut menikmati kejahilan davina. Ia tersenyum.
Tanpa alas kaki dan telapak kaki yang sudah kotor ia memasuki ruang guru. Mencari pak harun hingga ke sudut-sudut ruangan. Nafasnya yang tersengal-sengal membuat matanya lemah dalam berkonsentrasi. Pak harun yang ada beberapa meter dari hadapannya pun tak nampak. Kebingungan karna semua yang dihadapannya menjadi abstrak. Butuh beberapa menit dan akhirnya ia sadar. “pak harun panggil saya?” tanya nya sambil menunjuk dirinya sendiri.
“gak” jawab pak harun singkat. “nih pake sendal bapak. Dari pada nyeker kemana-mana kayak gitu” pah harun mengeluarkan sendal jepit dari balik mejanya.
Sabrina menerimanya dengan senang hati “makasih pak” ucapnya seraya memberikan senyuman lebarnya. Ia kembali ke kelas dengan kaki yang sudah beralas kaki. “ini namanya musibah membawa berkah. Sekarang jadi pake sendal. karna yang kasih pinjem guru, pasti ga akan di omelin” gumamnya dalam hati.
Saat tiba dikelas dan devina melihat bahwa ia baik-baik saja dan sudah beralas kaki, devina merasa gagal dengan rencananya. Devina terlihat kesal. Sabrina sadar dikerjai oleh devina, namun ia merasa berterima kasih karna jika tidak dikerjai oleh devina, ia tidak akan memakai sendal saat ini. Sebagai wujud terima kasihnya ia tersenyum dan melambai pada devina yang kini kehilangan senyumnya.